Cari-Cari Alasan Untuk Menikah

secara syariat, hukum nikah bisa berbeda-beda sesuai dengan kondisi masing-masing orang.

 

Apa bekal penting untuk menikah?
Orang yang memilih menikah harus menguasai ilmu tentang pernikahan. Kedua pihak, baik calon suami maupun calon istri harus bisa saling memahami. Lebih dari itu, mereka harus mengerti bagaimana Islam memandang pernikahan. (Ust. M. fauzil Adhim)

Dari asal katanya (bahasa arab) “pernikahan” adalah  an-nikah.  Kata ini punya dua arti.  Pertama, nikah berarti jimak, atau hubungan seksual. Nikah dapat diartikan akad, yaitu ikatan/kesepakatan. Kita akan membahasnya  berdasarkan Mazhab Syafii. Sebagaimana dilansir laman NUOnline, Sa‘id Mushtafa Al-Khin dan Musthafa al-Bugha, dalam kitab Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syâfi’i (Juz IV, hlm. 17) menjelaskan:
“Nikah memiliki hukum yang berbeda-beda, tidak hanya satu. Hal ini mengikuti kondisi seseorang (secara kasuistik).”
Keterangan tersebut menunjukkan bahwa, secara syariat, hukum nikah bisa berbeda-beda sesuai dengan kondisi masing-masing orang. Merujuk pada penjelasan Sa‘id Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha dalam kitab Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syâfi’i, hukum nikah adalah sebagai berikut:

1. Sunah

Nikah sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Hukum asal nikah adalah sunah bagi yang sudah memiliki kemampuan untuk melaksanakannya.

Hal ini sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari (nomor 4779), yang artinya berikut ini: “Wahai para pemuda, jika kalian telah mampu, maka menikahlah. Sungguh menikah itu lebih menenteramkan mata dan kelamin. Bagi yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa bisa menjadi tameng baginya.”

2. Sunah Ditinggalkan

Nikah juga bisa dianjurkan atau disunahkan untuk tidak dilakukan. Hukum tersebut berlaku bagi orang yang ingin menikah, namun tidak memiliki kelebihan harta untuk biaya menikah sekaligus menafkahi istri. Dalam kondisi seperti ini, orang tersebut sebaiknya mencari nafkah, beribadah dan berpuasa sambil berdoa Allah SWT segera mencukupi kemampuannya untuk menikah.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat An-Nur ayat 33, yang artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.”

3. Makruh

Nikah pun bisa dihukumi makruh. Hukum ini berlaku bagi orang yang memang tidak menginginkan untuk menikah, karena faktor perwatakannya ataupun penyakit. Seseorang itu juga tidak memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya. Jadi, apabila dipaksakan menikah, orang itu dikhawatirkan tidak bisa memenuhi hak dan kewajibannya dalam pernikahan.

Wanita Kue Natal

Di Jepang kini banyak wanita yang tidak mau atau menunda menikah, dan wanita-wanita ini kerap dihina dengan julukan “kue Natal,” merujuk pada wanita berumur 25 tahun ke atas yang menolak menikah dan dicap seperti kue Natal yang tidak laku setelah 25 Desember. Ternyata sama saja ya seperti di Indonesia?
Di Indonesia meski batas minimal usia menikah perempuan ditetapkan 19 tahun berdasarkan revisi UU No.1/1974 tentang Perkawinan, namun idealnya pernikahan bagi perempuan minimal dilakukan di usia 21 tahun.
Apa yang menyebabkan wanita Jepang tidak ingin menikah dan memilih untuk tetap single atau menikahi diri sendiri? Dilansir dari The New York Times, inilah beberapa alasan yang muncul dari para wanita Jepang yang memilih tidak menikah.

Sanae Hanaoka (25) seorang wanita lajang Jepang. Ia tengah mempersiapkan diri unruk menikahi dirinya sendiri. Beberapa studio memang menyediakan layanan untuk sesi foto “solo wedding” (nytimes.com)

“Aku ingin mencoba hidup dengan tenagaku sendiri,” ujar Hanaoka, seorang wanita berusia 25 tahun yang melangsungkan suatu kegiatan unik, menikahi dirinya sendiri alias solo wedding. Ia tetap mengenakan gaun pernikahan yang cantik dan memesan kue pernikahan, semua untuk dirinya sendiri .
Banyak wanita jepang yang beranggapan menikah menghambat karir. Para istri dan ibu di Jepang seperti diwajibkan untuk segala bisa, mulai dari mengurus anak, mengerjakan pekerjaan rumah, dan menolong saudara mereka yang sudah tua. Hal ini membuat makin banyak saja wanita yang lelah dengan standar ganda ini dan memilih untuk fokus pada karir mereka dan menemukan kebebasan.
Jumlah wanita Jepang yang tidak ingin menikah semakin banyak saja. Pada tahun 1990, hanya ada sekitar 20 orang di Jepang yang tidak ingin menikah meski umur mereka telah mencapai 50 tahun. Namun pada 2015, jumlah ini melonjak drastis. Bahkan ada rentang umur 35 hingga 39, hampir ¼ dari total data menyatakan tidak pernah menikah.
Tahun 2018 lalu, angka pasangan yang melangsungkan pernikahan ada di titik terendahnya. Otomatis, membuat angka kelahiran ikut menurun dan tahun 2019 menjadi titik terendah kelahiran bayi.
Pemerintah berusaha mengatasi ini dengan melakukan seminar bagi pasangan dan semacamnya. Namun, bagi para wanita Jepang yang kerap dikekang oleh para pria, anak-anak, dan keluarganya, melajang berarti kebebasan.
“Ketika mereka menikah, tentu banyak yang harus dikorbankan,” ujar Mari Miura, professor ilmu politik di Sophia University, Tokyo.
Hampir 70% wanita Jepang berumur 15 sampai 64 tahun sudah memiliki pekerjaan. Sayangnya, semua itu terhambat ketika mereka menikah dan memiliki anak. Mereka harus menyiapkan sarapan dan bekal yang katanya sih harus selalu dilakukan wanita, menjemput anak mereka, belum lagi mengurus pekerjaan rumah. Sementara sang suami mengutamakan waktu “bangun” mereka untuk perusahaan mereka.Selain itu, kini banyak wanita lajang dengan karir bagus yang memiliki banyak uang. Sehingga mereka tak lagi butuh suami dalam hidupnya.
“Salah satu alasan wanita untuk menikah adalah memiliki kehidupan finansial stabil. Namun, aku tidak kekurangan secara finansial. Jadi, aku lebih memilih untuk mengejar cita-citaku,” ujar Miki Matsui (49), seorang direktur di perusahaan peneribitan di Tokyo.
Beberapa wanita lajang juga mengatakan kalau curhatan teman-temannya yang memiliki anak itu mengerikan.
“Tidak adil jika wanita hanya diam di rumah dan menjadi seorang ibu rumah tangga. Mereka mungkin senang saat mereka bersama anak mereka, tapi ada yang mendeskripsikan suami mereka sebagai bayi raksasa yang merepotkan dan tidak ingin mengurus suaminya,” ujar Shigeko Shirota (48), seorang petugas administrasi yang juga seorang penari.
Ada juga para wanita yang beranggapan kalau menikah bukanlah sesuatu yang darurat.
“Data menunjukkan bahwa banyak wanita yang menunggu waktu yang tepat untuk menikah. Namun “waktu” tersebut tidak pernah datang dalam hidupnya,” ujar James Raymo, seorang profesor sosiologi di University of Wisconsin-Madison yang sempat menulis tentang pernikahan di Jepang.
Wanita yang tidak ingin memiliki anak juga biasanya tidak ingin menikah.
“Tidak aneh jika mengatakan kalau orang-orang di Jepang menikah karena ingin memiliki anak. Jadi, jika tidak ingin punya anak, makin berkurang alasan untuk menikah,” ujar Mary C. Brinton, seorang professor sosiologi di Harvard University yang meneliti Jepang kontemporer.
Kembali ke Hanaoka, wanita yang dua tahun lalu menikahi dirinya sendiri. Ia mengatakan kalau melajang juga memiliki risiko, tapi ia mampu menangkalnya dengan baik. Misalnya, saat ia merasa kesepian, ia akan menonton video “pernikahannya” untuk melihat orang-orang yang mendukung dan mencintainya.
Ia juga mengatakan bahwa saat ia tumbuh dewasa, ibunya terlihat tidak bahagia. Dan setelah ia bekerja menjadi seorang guru TK, ia menyadari bahwa banyak ibu yang terlihat, “mencoba mengurus anaknya dengan baik tapi tidak mengurus diri mereka sendiri.”
Karena itu ia berpendapat, “Jika aku menjadi seorang ibu, aku takut kalau aku diharapkan untuk berperan seperti seorang ibu yang diinginkan penduduk Jepang dan tidak bisa menjadi diri sendiri,” kata dia, “Lebih baik aku melakukan apa yang aku mau.”

Seandainya Menikah (Lagi)

Jika kita cermati kisah wanita Jepang dan tuntunan Islam, wanita Jepang yang menolak menikah sebenarnya bukanlah perempuan yang berbahagia sepenuhnya.
Ijinkan saya menceritakan satu kisah wanita Indonesia yang sukses dalam karir dan rumah tangganya-yang tak gentar dengan pahitnya pernikahan. Beri ruang bagi diri untuk membuka pikiran kita. Belajar dari cinta Dian Pelangi yang pernah gagal dan bangkit lagi. Kisah ini juga relevan bagi yang masih takut untuk menikah.
Model sekaligus fashion designer Dian Pelangi dikabarkan bercerai dengan Tito Haris Prasetyo lantaran tak ingin punya anak. Pernikahannya kandas setelah 5 tahun. Opini publik menyeruak lantaran saat itu karirnya dalam industri busana muslim Tanah Air tengah sukses.
Namun setelah dikonfirmasi, Dian membantah.
“Siapa sih yang nggak pengen punya anak. mungkin mereka ngeliatnya aku terlalu sibuk, terlalu ngejar karir, terlalu ambisius atau apa sehingga aku tuh terkesan kayak belum pengen punya atau nggak pengen punya anak, itu salah besar sih menurut aku,” ungkap Dian Pelangi.

Sandy Nasution dan putrinya/matamata.com

Dian Pelangi pertama kali menikah dengan Tito Haris Prasetyo saat masih berumur 20 tahun. Mantan Suami Dian ini berjarak 9 tahun dengannya.

Meski sempat bercerai, Dian Pelangi tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan. Ia bangkit & melanjutkan kariernya sebagai desainer ternama Indonesia. Setelah tiga tahun menyandang status janda, kini Dian Pelangi menikah dengan tambatan hatinya Sandy Nasution pada 17 November 2019. Setahun kemudian, dia melahirkan putri pertamanya, tepatnya pada 16 Agustus 2020.

sumber : wanita jepang tak mau menikah

Joe Fajrin
Joe Fajrin Salam persahabatan. Semoga blog ini bermanfaat. Amin

Posting Komentar untuk "Cari-Cari Alasan Untuk Menikah"